Senin, 11 Juni 2012

Wedang Tape Bojonegoro

Salah satu yang cukup melegenda dari Bojonegoro adalah wedang tapenya. Wedang tape yang terbuat dari tape ketan hitam disajikan dengan santan panas ini benar-benar mak nyuusss….. 

Warung wedang tape di Jalan KH Maskur Bojonegoro ini memang legendaris dan sudah ada sejak dekade 1950-an, penjual yang sekarang ini adalah generasi ketiga. Maka tak heran jika yang berkunjung selalu ramai, apalagi pada momen-momen seperti mudik lebaran. Mereka-mereka yang sudah jadi langganan tetap selalu menyempatkan mampir kesini, termasuk saya yang kini jadi pelanggan tetap kalau pas mudik ke Bojonegoro. 

Silahkan kalau pas maen-maen ke Bojonegoro, monggo mampir di Warung Wedang Tape di Jalan KH Maskur Bojonegoro ini. Dijamin ketagian dehh…. 

Disini, kita bisa menikmati wedang tape dan juga ada rujak cingur, lontong kikil serta yang pasti bagi saya adalah ada rambak kulit sapi goreng. Pokoknya mak nyuusss dech..


Sumber

Jumat, 01 Juni 2012

Sekilas tentang Rembang

Rembang, sebuah Kabupaten yang memiliki hari jadi 27 Juli 1741 adalah salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang berada ujung timur. Secara administrasi Kabupaten Rembang terbagi dalam 14 kecamatan, 287 desa dan 7 kelurahan dengan luas wilayah secara keseluruhan 101.408,283 Ha. Kabupaten Rembang merupakan wilayah yang terletak di pantai utara pulau Jawa, merupakan daerah pinggiran (pheripheral) wilayah Jawa Tengah. 

Ada 6 kecamatan yang berada di pinggiran pantai, yakni: kecamatan Kaliori, Rembang, Lasem, Sluke, Kragan dan Sarang. Panjang pantai pada 6 wilayah kecamatan ini adalah 60 Km. Pegunungan di kabupaten Rembang termasuk dalam deretan Pegunungan Kendeng Utara yang potensial untuk pembuatan kapur/gamping. Puncak gunung tertinggi adalah Gunung Lasem (806 m dpl) dan kemudian Watu Putih (495 m dpl ).

Kabupaten Rembang berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Timur, sehingga menjadi gerbang sebelah timur Provinsi Jawa Tengah. Daerah perbatasan dengan Jawa Timur (seperti di Kecamatan Sarang, memiliki kode telepon yang sama dengan Tuban (Jawa Timur).

Batas Wilayah Kabupaten Rembang
Sebelah utara     : Laut Jawa.
Sebelah timur     : Kabupaten Tuban (Jawa Timur).
Sebelah selatan  : Kabupaten Blora.
Sebelah barat     : Kabupaten Pati.

Daerah Kabupaten Rembang terletak antara ketinggian 0 M sampai 806 M dari permukaan air laut, dengan kondisi cuaca berkisar antara 23 o – 35 o C, dengan curah hujan rata-rata pertahun ±  1.044 cm3/tahun.

Kesenian tradisionalnya adalah  Pathol Sarang, Thong-thong lek, Engklek, Sodhor, Jorit, Gacon, Kekean, Nekeran, Ngaji, Mondokan.

Sumber daya yang dimiliki adalah Perikanan Laut, Garam, Hasil Tambang, Legen, Siwalan, Ndog Jungan, Buah Kawis, Batik Lasem

Sumber:



Sabtu, 05 Mei 2012

Sejarah Bis Tingkat di Solo

Bis tingkat mulai digunakan pertama kali di Indonesia pada tahun 1983 atas inisiatif ibu Tien Soeharto. Pada tahun 1987 jumlah bis tingkat yang beroperasi di Kota Solo sebanyak 30 buah.

Sewaktu saya masih mengenyam pendidikan di bangku SMP dulu (sekitar pertengahan dekade 90-an), jika bepergian ke arah kota Solo saya sering menggunakan moda transportasi berupa bis tingkat. Waktu itu tarifnya jauh-dekat 150 rupiah dan setahun kemudian naik menjadi 300 rupiah dan hingga menjelang kepunahannya tarifnya 1000 rupiah.

Bis tingkat ini dikelola oleh Damri. Selain Solo, beberapa kota besar lain yakni Jakarta, Surabaya dan Makassar pernah pula mengoperasikan armada angkutan darat ini. Moda transportasi ini memiliki keuntungan, yakni menghemat space jalan. Dengan jumlah penumpang yang dimuat oleh satu armada bis tingkat adalah lebih banyak dua kali lipat daripada armada bis biasa, atau kapasistas penumpang sekitar 105 orang penumpang duduk.

Sebuah transportasi massal yang murah serta lebih ramah lingkungan, sebab dengan beberapa puluh armada bis dapat melayani penumpang dari ujung barat kota Solo hingga ujung timur (rute Kartasura – Palur pp), sehingga untuk rute tersebut tidak harus banyak memerlukan jenis angkutan umum yang lain. Selain itu, naik bis tingkat juga sebagai sarana refresing, sebab dapat menikmati suasana Kota Solo sepanjang perjalanan.

Namun sejak tahun 1997/1998, keberadaan bis tingkat mulai berkurang, salah satu penyebabnya adalah imbas krisis moneter yang melanda. Meski tahun 2000 masih ada. Istri saya yang berasal dari tlatah Bojonegoro pernah bilang bahwa merasa heran dengan keberadaan bis tingkat, sewaktu dia pertama kali menginjakkan kaki di Solo untuk melanjutkan belajarnya. Dia pernah naik dua kali katanya. Dan memang akhir tahun tersebut bis tingkat benar-benar punah dari Kota Solo.

Kamis, 03 Mei 2012

Solo, Kota dengan Dua Nama

Nama Solo sudah sangat akrab di telinga kita. Solo merupakan salah satu kota besar di Jawa Tengah juga Indonesia, terletak di jalur strategis transportasi darat yang menghubungkan Propinsi Jawa Timur dengan DIY. Dikenal sebagai Kota Bengawan, karena berada di tepian sungai. Bengawan dalam bahasa Jawa bermakna sungai. Juga dikenal sebagai Kota Budaya karena sangat banyak terdapat peninggalan budaya nusantara, diantaranya keraton yang sampai sekarang masih berfungsi juga banyak peninggalan sastra budaya serta aneka seni budaya ada di sana.


Dikenal pula sebagai Kota Batik, sebab seni batik begitu mengakar dan membudaya di kota ini. Mulai dari proses hulu hingga hilir, mulai dari kain hingga kayu juga dibatik. Solo dikenal pula sebagai Kota Plesiran, sebab suasana malam kota ini syarat dengan plesiran terutama bagi mereka yang menyukai wisata kuliner. Dan Solo juga dikenal sebagai Kota Pergerakan, karena selain banyak diantara tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia berasal dari Solo, dan juga kota ini merupakan pusat mereka bertemu dan merancang gerakan Indonesia Merdeka.


Selain 'gelar-gelar' diatas, keunikan Kota Solo adalah kota ini adalah memiliki dua nama. Dimana keduanya sama-sama digunakan yakni Solo dan Surakarta. Mengapa demikian?

Sebagaimana catatan sejarah, bahwa karena pergolakan di dalam negeri, yakni Pemberontakan Sunan Kuning alias Geger Pecinan, Kraton Kartasura yang merupakan penerus Mataram Islam, atas perintah Raja waktu itu (Paku Boewono II) akhirnya dipindahkan ke sebuah desa yang terletak di sebelah timur sejauh 20 Km dari ibukota Kartasura. Itulah Desa Sala (dibaca sebagaimana pada kata Solok) pada tahun 1745 M. Dan sebagai sebuah upaya menghilangkan sawan (nasib buruk) yang mengikuti maka nama Kraton juga diubah menjadi Surakarta (pembalikan dari KartaSura).

Sala menjadi Solo
Karena orang pada mulanya sudah familiar dengan Desa Sala, maka banyak orang yang menyebutnya dengan Kraton Sala. Maka jadilah penyebutan itu hingga sekarang. Nama Sala (dibaca sebagaimana kata Solok) masih dipergunakan, dan nama Surakarta juga tetap dipakai. Akan tetapi entah dimulai oleh siapa dan kapan, serta karena apa pula, kata Sala berubah penulisan dan pembacaannya menjadi Solo, (dibaca sebagaimana kata bakso).

Menurut analisa awam saya, ini sebenarnya adalah sebuah kesalahan kolektif pada sebuah upaya peng-Indonesia-an kata dan pengucapan dari Basa Jawa ke Bahasa Indonesia. Karena penulisannya memakai huruf "A", tetapi pengucapannya hampir menyerupai huruf "O". Maka jadilah kata Sala menjadi ditulis Solo, untuk menyerupakan antara tulisan dengan pembacaannya. Sekali lagi ini hanyalah analisa awam kaumbiasa lho, bukan analisa pakar.

Namun terlepas dari masalah pengucapan dan penulisan nama Solo, kota ini telah tumbuh menuju sebuah kota metropolitan baru di jagad nusantara. Dengan tetap masih berupaya mempertahankan ciri khasnya sebagai kota peninggalan budaya nusantara bahkan dunia. Di kota dengan dua nama inilah, selain keberadaan Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat maupun Pura Mangkunegaran, PON (Pekan Olahraga Nasional) I dilaksanakan; Monumen Pers Nasional sebagai sebuah pengingat sejarah perjuangan pers nasional juga berdiri megah di sini; Museum tertua di Indonesia juga ada di Solo, yakni Museum Radya Pustaka.

Selain itu juga masih ada rel Kereta Api di tengah kota peninggalan jaman Belanda yang masih difungsikan sampai sekarang. Untuk urusan seni budaya, selain keberadaan Taman Budaya Surakarta, terdapat pula panggung terbuka Argo Budaya yang berada di dalam kompleks Kampus UNS yang pembangunannya kolaborasi antara UNS dengan Pura Mangkunegara.

Dan masih banyak lagi tentang Kota dengan Dua Nama ini menjadi kota yang unik dan menarik. Maka pantas dan jika kemudian Kota ini disebut sebagai spirit of Java, bahkan bagi saya pribadi dapat dikatakan sebagai the spirit of Indonesia sebab banyak hal yang ada di Indonesia ini bercikal bakal dari kota ini.

Sumber dari sini

Rabu, 02 Mei 2012

Perkembangan Industri Gula di Jawa

Di Jawa, tanaman tebu diperkirakan sudah sejak lama dibudidayakan, yaitu pada zaman Aji Saka sekitar tahun 75 M. Perantau China, I Tsing, mencatat bahwa tahun 895 M gula yang berasal dari tebu dan nira kelapa telah diperdagangkan di Nusantara. 
Pengankutan tebu ke Pabrik Gula Pesantren di Kediri, tahun 1926
Namun, berdasarkan catatan Marcopolo hingga abad ke-12 di Jawa belum berkembang industri gula seperti yang ada di Cina dan India. Kedatangan orang Eropa, terutama orang Belanda, pada abad 17 membawa perubahan pada perkembangan tanaman tebu dan industri gula di Jawa.

Pada  awal  abad  ke-17  industri  gula  berdiri  di sekitar  selatan Batavia, yang dikelola oleh orang-orang China bersama para pejabat VOC. Pengolahan gula saat itu berjalan dengan proses yang sederhana. Sebagai gilingan digunakan dua buah selinder kayu yang diletakkan berhimpitan kemudian diputar dengan tenaga hewan (kerbau) atau manusia. Tebu dimasukkan diantara kedua selinder, kemudian nira yang keluar ditampung dalam suatu bejana besar yang terdapat di bawah gilingan. Pada saat panen tebu, “PG sederhana” ini bisa dipindahkan mendekati kebun.

Pada pertengahan abad XVII telah dilakukan ekspor gula ke Eropa yang berasal dari 130 pengolahan gula (PG tradisional) di Jawa. Seiring dengan perjalanan sejarah, jumlah PG di Jawa turun naik berfluktuasi. Ketika India mulai melakukan ekspor gula ke Eropa, industri gula di Jawa mengalami persaingan ketat sehingga beberapa diantaranya tutup. 
Pabrik Gula Pandji Kapongan (Sitoebondo 1864-1880)
Pada tahun 1745 di Jawa tersisa 65 PG, tahun 1750 bertambah menjadi 80 PG, kemudian akhir abad XVIII menyusut kembali menjadi 55 PG. Fluktuasi ini diduga berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan sekitar Batavia yang tidak lagi kondusif untuk budidaya tebu atau mungkin berkaitan dengan kesulitan permodalan.

Pada awal abad XIX, industri gula yang lebih modern yang dikelola orang-orang Eropa mulai bermunculan. PG modern pertama didirikan di daerah Pamanukan (Subang) dan Besuki (Jawa Timur). Akan tetapi, PG tersebut tidak bertahan lama dan mengalami kebangkrutan yang diduga akibat masalah perburuhan dan ketersediaan lahan sawah untuk tebu yang terbatas. Di Pamanukan, investor gula harus membuka lahan-lahan sawah baru yang butuh modal besar karena lahan sawah yang sudah ada diprioritaskan untuk padi.

Kurun waktu berikutnya industri gula di Jawa mulai menggeliat bangkit seiring dengan diberlakukannya Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa oleh van den Bosch. Liberalisasi industri gula di Jawa dipasung. Semua aktivitas ekonomi (perdagangan gula) swasta dilarang dan dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pada tahun 1830 Bosch mengembangkan penanaman tebu di daerah pantura Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang dikelola secara profesional. Sebagian besar perusahaan keluarga diserahkan kepada para manajer profesional. Modal didukung oleh Javasche Bank, sedangkan manajemen inti dipegang orang-orang Eropa. Usaha-usaha penetrasi pasar dilakukan pemerintah Belanda melalui regulasi impor gula dengan memberikan potongan 15 gulden untuk setiap pembayaran cukai sebanyak 100 gulden. Tenaga kerja hampir sepenuhnya tidak dibayar alias gratis karena unsur paksaan oleh para penguasa bumiputra yang berkolaborasi dengan para penjajah.

Perubahan kebijakan ini berhasil baik, dimana 10 tahun kemudian gula dari Jawa mampu mendominasi pasar dunia. Perkembangan berikutnya, beberapa PG mulai bermunculan di Jawa dengan dukungan pembangunan infrastruktur besar-besaran terutama dalam penyediaan sarana irigasi.

Kebangkitan industri gula di Jawa pada masa itu sebenarnya terkait juga dengan perubahan teknologi. Margarete Leidelmeijer dalam studi Doktornya di Universitas Teknologi Eindhoven, Belanda, tahun 1995 menulis disertasi tentang industri gula di Jawa berjudul Van suikermolen tot grootbedrift. Technische vernieuwing in de Java-suikerindustrie in de negentiende eeuw atau dalam terjemahan bebas kira-kira artinya “dari pengolahan gula sederhana ke pabrik-inovasi teknik pada industri gula Jawa abad sembilan belas” (No. 25 dalam seri NEHA 111, Dutch Guilders).

Menurut Leidelmeijer, sejak Cultuurstelsel diberlakukan teknologi industri gula Jawa sebagian mengadopsi teknologi pengolahan gula bit di Eropa, salah satunya dengan menggunakan pan masak vacuum. Selain itu, dukungan para insinyur dan peneliti di Belanda yang difasilitasi kantor Kementrian Pemerintahan Kolonial ikut terlibat dalam pengembangan industri gula di Jawa. Kontak antara para pelaku industri gula di Jawa dan Eropa saat itu cukup intensif. Mereka saling bertukar informasi tentang teknologi prosesing gula tebu dan gula bit. 
Industri gula di Jawa pada akhirnya berkembang cukup pesat dan bahkan menjadi acuan bagi industri gula tebu dunia lainnya. Inovasi teknologi prosesing gula tebu yang dimulai abad XIX tersebut, kemudian disempurnakan dengan berbagai inovasi teknologi di abad XX hingga saat ini masih bertahan dan dipakai oleh sebagian besar PG di Jawa.

Disarikan dari berbagai sumber